Halaman

Minggu, 25 September 2016

Negeri Para Roh





Judul     : Negeri Para Roh
Penulis : Rosi L. Simamora
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Jakarta, 2015
288 hlm

Pada tanggal 6 Juni 2006, longboat berpenumpang lima kru sebuah stasiun televise berangkat dari Agats menuju Timika. Mereka adalah Senna, Totopras, Sambudi, Bagus, dan Hara.

Belum lagi tengah hari, laut sekonyong mengganas dan longboat terbalik. Berbekal dry box berukuran lima puluh sentimeter persegi, empat dari mereka harus bertahan di tengah lautan Arafuru. Yang seorang lagi terpisah bersama tiga awak perahu, terseret arus kea rah berlawanan.

Negeri Para Roh adalah kisah tentang kelima kru itu. Di negeri itu mereka belajar mengenal manusia Asmat dan relung-relung ritualnya yang purba. Mereka juga menyaksikan bagaimana roh-roh leluhur dihormati dan sekaligus ditakuti, terus diingat dalam patung-patung ukiran, namun juga dibujuk pergi dan diantar ke dunia abadi di balik tempat matahari terbenam.

Bukan itu saja. DI Negeri Para Roh itu pula Senna akhirnya belajar melepaskan, Totopras mengalami Tuhan, Sambudi mencoba merekatkan kembali dirinya yang retak, dan Bagus mendapat keberanian untuk menyatakan cintanya. Dan Hara? Ia menemukan dirinya sendiri.
Namun. Selamatkah mereka?



6 Juni 2006, tepat sebulan setelah saya juga pertama kalinya mendarat di tanah Papua. Merantau demi masa depan. Lalu terhenyaklah saya menyaksikan berita di televisi. Beberapa orang kru stasiun televisi untuk sebuah program petualangan mengalami kecelakaan di Laut Arafuru. Berita tersebut sempat menyita perhatian saya karena saya sendiri merupakan salah satu penggemar acara televisi tersebut.

Begitulah, kecelakaan tersebut melatarbelakangi pembuatan novel ini. Diceritakan berdasarkan kisah nyata Dody Johanjaya, salah seorang anggota kru tersebut, yang mana beliau menanyakan kepada penulis apakah bersedia menuliskan kisahnya tersebut di sekitar akhir 2013. Penulis menyanggupi dan kemudian melakukan riset hingga ke Asmat. Meski sempat mandek di tengah jalan, namun akhirnya novel ini berhasil juga mendarat di tangan saya selaku pembaca. Salut untuk penulis dan juga Pak Dedi.

Membaca novel ini meski dengan karakter-karakter yang sepenuhnya merupakan rekaan penulis, tidak mengubah rasa ngeri dan takjub menyaksikan bagaimana tokoh-tokoh tersebut bergelut menghadapi bencana yang mereka alami. 

Adalah Senna Johanjaya, 9 tahun setelah kejadian tersebut, dia kembali ke Asmat setelah bertahun lamanya mengalami kegamangan dan kegelisahan akibat peristiwa itu. Malam-malamnya tak pernah tenang. Rasa penasaran dan bersalah serta berbagai pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah terjawab mengantarnya kembali ke tempat itu. Dia perlu waktu dan tempat untuk belajar melepaskan semuanya. Dia harus berani mengucapkan selamat tinggal.

Diceritakan dengan plot maju mundur, sedikit agak membingungkan sebenarnya bagi saya meski ada tanggal sebagai penanda waktu yang disematkan. Kemungkinan juga hal ini disebabkan karena banyaknya tokoh dan kejadian yang langsung ditampilkan di awal untuk langsung dikenali secara cepat. Namun lama-kelamaan saya akhirnya mampu mendalami peran serta karakter masing-masing tokoh. 

Lima karakter berbeda, disatukan oleh tugas dan tanggung jawab untuk menyelesaikan misi mereka meliput kehidupan warga maupun alam di Asmat yang menantang sekaligus begitu menarik.Sebuah tempat yang tak menjejak tanah. Dan lalu boleh dibilang misi mereka sudah cukup berhasil. Banyak gambar bagus yang diperoleh, kegiatan adat berhasil mereka liput dan bahkan banyak cerita tentang Asmat yang telah mereka peroleh. Saatnya untuk pulang mengolah data kembali ke ibukota. 

Tapi malang tak dapat ditolak, meski sebelumnya sudah ada peringatan baik bagi Bagas maupun juga bagi mereka semua untuk tak pulang lewat air, atau bahkan ada teriakan ‘jangan berangkat’  pada saat tanggal istimewa 6-6-2016 tersebut.

“Mana rombongan dar Jakarta? Tahan mereka! Jangan sampa berangkat! Ini tanggal tidak bagus.” Lalu, “Kembali! Kemb…” Dalam sekejap sisa kalimat itu tertelan jarak dan angin. (Prolog, hlm.19)


Kecelakaan yang mana Bagas serta tiga awak longboat tak diketahui nasibnya hingga sekarang. Menyedihkan memang, namun tak pelak perstiwa serta tempat inilah juga yang kemudian membuat setiap tokoh masing-masing mengalami perubahan diri. Berdamai dengan diri sendiri, ada keberanian yang muncul, pelepasan masa lalu, hingga iman yang semakin menguat. Bahkan lewat novel ini menguatkan saya juga, mengajari saya tanpa kesan menggurui. Berada di tanah Papua ini, berarti siap untuk menjadikannya rumah sendiri. Di sini ada istilah, “Siapa yang bekerja dengan jujur di tanah ini, maka ia pasti akan diberkati.”


 “Meskipun… setengah diri gue percaya, seperti dry box yang disediakan untuk kita berpegangan, hujan yang diturunkan untuk member kita minum, arus yang mengantar kita kemari, pulau itu sepertinya tidak berbeda,” ia berucap datar. (hlm 210)

“Tidak ada ruang untuk ragu, Sen,” ucap Totopras akhirnya, tanpa menoleh.”Tidak ada ruang untuk takut. Lo harus percaya. Hanya itu pilihan kita.” (hlm. 211)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar