Judul : Negeri Para Roh
Penulis : Rosi L. Simamora
Penerbit : PT
Gramedia Pustaka Utama
Jakarta, 2015
288 hlm
Pada tanggal 6 Juni 2006,
longboat berpenumpang lima kru sebuah stasiun televise berangkat dari Agats
menuju Timika. Mereka adalah Senna, Totopras, Sambudi, Bagus, dan Hara.
Belum lagi tengah hari, laut
sekonyong mengganas dan longboat terbalik. Berbekal dry box berukuran lima
puluh sentimeter persegi, empat dari mereka harus bertahan di tengah lautan
Arafuru. Yang seorang lagi terpisah bersama tiga awak perahu, terseret arus kea
rah berlawanan.
Negeri Para Roh adalah kisah
tentang kelima kru itu. Di negeri itu mereka belajar mengenal manusia Asmat dan
relung-relung ritualnya yang purba. Mereka juga menyaksikan bagaimana roh-roh
leluhur dihormati dan sekaligus ditakuti, terus diingat dalam patung-patung
ukiran, namun juga dibujuk pergi dan diantar ke dunia abadi di balik tempat
matahari terbenam.
Bukan itu saja. DI Negeri Para Roh
itu pula Senna akhirnya belajar melepaskan, Totopras mengalami Tuhan, Sambudi
mencoba merekatkan kembali dirinya yang retak, dan Bagus mendapat keberanian
untuk menyatakan cintanya. Dan Hara? Ia menemukan dirinya sendiri.
Namun. Selamatkah mereka?
6 Juni 2006, tepat sebulan
setelah saya juga pertama kalinya mendarat di tanah Papua. Merantau demi masa
depan. Lalu terhenyaklah saya menyaksikan berita di televisi. Beberapa orang kru
stasiun televisi untuk sebuah program petualangan mengalami kecelakaan di Laut
Arafuru. Berita tersebut sempat menyita perhatian saya karena saya sendiri merupakan
salah satu penggemar acara televisi tersebut.
Begitulah, kecelakaan tersebut
melatarbelakangi pembuatan novel ini. Diceritakan berdasarkan kisah nyata Dody
Johanjaya, salah seorang anggota kru tersebut, yang mana beliau menanyakan
kepada penulis apakah bersedia menuliskan kisahnya tersebut di sekitar akhir
2013. Penulis menyanggupi dan kemudian melakukan riset hingga ke Asmat. Meski sempat
mandek di tengah jalan, namun akhirnya novel ini berhasil juga mendarat di
tangan saya selaku pembaca. Salut untuk penulis dan juga Pak Dedi.
Membaca novel ini meski dengan
karakter-karakter yang sepenuhnya merupakan rekaan penulis, tidak mengubah rasa
ngeri dan takjub menyaksikan bagaimana tokoh-tokoh tersebut bergelut menghadapi bencana
yang mereka alami.
Adalah Senna Johanjaya, 9 tahun
setelah kejadian tersebut, dia kembali ke Asmat setelah bertahun lamanya
mengalami kegamangan dan kegelisahan akibat peristiwa itu. Malam-malamnya tak
pernah tenang. Rasa penasaran dan bersalah serta berbagai pertanyaan-pertanyaan
yang tak pernah terjawab mengantarnya kembali ke tempat itu. Dia perlu waktu
dan tempat untuk belajar melepaskan semuanya. Dia harus berani mengucapkan
selamat tinggal.
Diceritakan dengan plot maju
mundur, sedikit agak membingungkan sebenarnya bagi saya meski ada tanggal
sebagai penanda waktu yang disematkan. Kemungkinan juga hal ini disebabkan
karena banyaknya tokoh dan kejadian yang langsung ditampilkan di awal untuk
langsung dikenali secara cepat. Namun lama-kelamaan saya akhirnya mampu
mendalami peran serta karakter masing-masing tokoh.
Lima karakter berbeda, disatukan
oleh tugas dan tanggung jawab untuk menyelesaikan misi mereka meliput kehidupan
warga maupun alam di Asmat yang menantang sekaligus begitu menarik.Sebuah
tempat yang tak menjejak tanah. Dan lalu boleh dibilang misi mereka sudah cukup
berhasil. Banyak gambar bagus yang diperoleh, kegiatan adat berhasil mereka
liput dan bahkan banyak cerita tentang Asmat yang telah mereka peroleh. Saatnya
untuk pulang mengolah data kembali ke ibukota.
Tapi malang tak dapat ditolak,
meski sebelumnya sudah ada peringatan baik bagi Bagas maupun juga bagi mereka
semua untuk tak pulang lewat air, atau bahkan ada teriakan ‘jangan berangkat’ pada saat tanggal istimewa 6-6-2016 tersebut.
“Mana rombongan dar Jakarta? Tahan mereka! Jangan sampa berangkat! Ini tanggal tidak bagus.” Lalu, “Kembali! Kemb…” Dalam sekejap sisa kalimat itu tertelan jarak dan angin. (Prolog, hlm.19)
Kecelakaan yang mana Bagas serta
tiga awak longboat tak diketahui
nasibnya hingga sekarang. Menyedihkan memang, namun tak pelak perstiwa serta
tempat inilah juga yang kemudian membuat setiap tokoh masing-masing mengalami
perubahan diri. Berdamai dengan diri sendiri, ada keberanian yang muncul,
pelepasan masa lalu, hingga iman yang semakin menguat. Bahkan lewat novel ini
menguatkan saya juga, mengajari saya tanpa kesan menggurui. Berada di tanah
Papua ini, berarti siap untuk menjadikannya rumah sendiri. Di sini ada istilah,
“Siapa yang bekerja dengan jujur di tanah ini, maka ia pasti akan diberkati.”
“Meskipun… setengah diri gue percaya, seperti dry box yang disediakan untuk kita berpegangan, hujan yang diturunkan untuk member kita minum, arus yang mengantar kita kemari, pulau itu sepertinya tidak berbeda,” ia berucap datar. (hlm 210)
“Tidak ada ruang untuk ragu, Sen,” ucap Totopras akhirnya, tanpa menoleh.”Tidak ada ruang untuk takut. Lo harus percaya. Hanya itu pilihan kita.” (hlm. 211)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar